Makna Tradisi Lebaran Ketupat/Syawalan
Oleh: Mohamad Madum, S.Sy
Alumni STAI An-Nawawi Purworejo
(PP. An-Nawawi Berjan Purworejo)
Islam Nusantara khususnya masyarakat Jawa gemar mengungkapakan
gambaran keyakinan dan kepercayaan melalui simbol-simbol atau upacara-upacara
dalam pelaksanaannya, itu artinya apa yang dapat ditangkap panca indera manusia
tidak cukup sekedar yang tersurat namun dapat juga dari pikiran maupun spontanitas.
Seperti halnya tradisi lebaran ketupat atau syawalan,
sebuah rangkaian dari tradisi keagamaan yang pelaksanaannya dilaksanakan
seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri.
Tradisi lebaran ketupat dikalangan masyarakat Jawa juga diduga
telah dilakukan oleh Sunan Kalijaga bertujuan saling memaafkan antar kerabat
dan tradisi ini dilakukan 7 hari setelah Hari Raya Idul Fitri yang kini menjadi
tradisi masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Tradisi lebaran ketupat yang
digagas oleh Sunan Kalijaga sebagai sarana dakwah menyiarkan ajaran Islam di kalangan
masyarakat Jawa yang kala itu masih memeluk agama Kapitayan.
Kini tradisi lebaran ketupat tetap digelar setiap tahun atau
populer dengan halal bi halal. Menariknya tradisi ini diikuti dengan gelar seni
budaya seperti masyarakat desa Boja, kabupaten Kendal mengadakan tradisi
syawalan dan merti desa atau sedekah bumi sebagai ungkapan rasa syukur pada
sang Pencipta. Tradisi lebaran ketupat/syawalan yang dilakukan masyarakat
Rembang selain Larung sesaji juga mengadakan tradisi lomban yang awalnya
diperkenalkan oleh sunan Bonang dengan membersihkan diri ke pantai seusai
bersilaturahmi agar tidak melupakan makna idul fitri yakni kembalinya manusia
kepada fitrah, dan masih banyak tradisi-tradisi ditempat lainnya.
Berikut makna tradisi lebaran ketupat atau syawalan
yang sering menjadi landasan mereka dalam
melestarikan tradisi ini. Secara umum ada beberapa makna yang terkandung dalam
tradisi syawalan yang saat ini sering ditemukan ditengah masyarakat. Pertama sebagai ajang saling memaafkan. Syawalan
merupakan momen yang tepat untuk saling memaafkan agar hati kita kembali
bersih, fitrah. Kedua sebagai media silaturahim.
Ketiga sebagai media untuk bertukar informasi. Dalam lingkup keluarga,
sering Syawalan dijadikan media penyebaran informasi tentang peluang kerja yang
mungkin saja dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang sedang mencarinya.
Dengan hubungan kekeluargaan, bahkan ikatan kerja dapat saja terbentuk melalui
media Syawalan. Keempat sebagai sarana koordinasi. Dan yang terakhir sebagai ajang untuk berbagi rizki.
Demikian potret sebuah agama yang membaur
dengan budaya dan alam pikir sebuah masyarakat. Islam sangat menghargai budaya
dan tradisi suatu masyarakat. Sepanjang budaya tersebut tidak bertentangan
dengan al-Quran dan Sunnah, maka Islam akan mengakomodir hingga
memfasilitasinya untuk berkembang. Seperti halnya tradisi lebaran ketupat yang
dilakukan oleh masyarakat Jawa yang sarat akan makna Islami.
Dikutip dari Buletin Lembaga Amal Himawan (L.A.H.) Kebumen