Hukum Adat

No Comments
 Perjanjian Adat
Oleh : Mukh. Sumaryanto

     A.       Pendahuluan
Banyaknya suatu kebiasaan-kebiasaan yang hadir maupun berkembang di Suatu Negara maupun daerah, membuat masyarakat bervariasi dan penuh keunikan tersendiri. Keunikan-keunikan tersebutlah yang membuat suatu bangsa terlihat mempunyai ciri khas yang berbeda dengan bangsa lain, dalam hal ini termasuk bangsa Indonesia yang kaya akan beranekaragaman yang tidak dimiliki oleh negara-negara lainnya.
Kebiasaan inilah yang akan mendarah daging di suatu daerah tertentu yang kemudian akan menjadikan suatu adat kebudayaan daerah tersebut. Dari adat inilah keberlakuan hukum dijalankan dengan dipimpin oleh pemimpin adat atau pemuka adat, tak jarang juga dipimpin oleh seseorang yang dianggap petua atau pemuka-pemuka lainnya.
Hukum adat inilah yang akan mengatur perilaku bermasyarakat pada daerah adat tersebut. Semisal jual-beli, waris, perjanjian dan lain sebagainya. Dalam kesempatan ini pemakalah akan mencoba memaparkan sedikit banyak hal tentang perjanjian.
B.        Latar Belakang
1.      Apakah yang dimaksud dengan perjanjian?
2.      Bagaimanakah bentuk-bentuk perjanjian adat ?
C.        Pembahasan
1.      Pengertian Perjanjian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “Persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.”[1]
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.[2]
Hukum perjanjian pada dasarnya mencakup hutang piutang. Dengan adanya perjanjian, maka suatu pihak berhak untuk  menuntut prestasi dan alih pihak berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Prestasi tersebut adalah mungkin menyerahkan benda, atau melakukan suatu perbuatan , atau tidak melakukan suatu perbuatan.
2.      Bentuk-bentuk Perjanjian Adat
 a.     Perjanjian kredit
Perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian meminjamkan uang dengan atau tanpa bunga, atau barang-barang tertentu yang harus dikembalikan sesuai dengan nilainya masing-masing pada saat yang telah disepakati. Hasil penelitian lapangan di Lampung dan Sumatera Selatan menyatakan bahwa peminjaman yang dikenakan bunga telah lazim terjadi, apabila yang meminjam uang itu adalah orang luar, artinya yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan pihak yang meminjamkan uang itu. Adanya bunga atau jaminan terhadap pinjaman uang, rupa-rupanya merupakan pengaruh dari kebiasaan-kebiasaan di kota dari para pendatang. [3]
Demikian pula dengan pinjam-meminjam barang, maka pinjam-meminjam tersebut merupakan suatu hal yang sudah lazim. Pinjam-meminjam barang ini harus dikembalikan dengan barang sejenis ataupun dengan uang yang sepadan dengan nilai barang yang dipinjamkan.
 b.     Perjanjian Kempitan
Perjanjian kempitan merupakan suatu bentuk perjanjian dimana sesorang menitipkan sejumlah barang kepada pihak lain dengan janji bahwa kelak akan dikembalikan dalam bentuk uang atau barang yang sejenis. Perjanjian kempitan ini lazim terjadi dan pada umumnya menyangkut hasil bumi dan barang-barang dagangan.[4]
Di dalam perjanjian kempitan, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu antara lain :
1)       Harus ada musyawarah lebih dulu, kepercayaan dan surat perjanjian.
2)     Diadakan batas waktu pengembalian barang dan kalau barang tersebut tidak diambil, maka barang tersebut dijual atas dasar mufakat.
3)       Dalam surat perjanjian itu ditentukan jumlah harga pengembalian barang tersebut.
4)   Apabila barang yang dititipkan itu hilang, maka harus ada penggantian dan apabila barang itu telah dijual orang yang dititipi barang tersebut harus diberi upah untuk jerih payahnya.
Dengan demikian, dalam perjanjian kempitan terdapat kecenderungan bahwa barang yang dititipkan itu harus dikembalikan apabila dikehendaki oleh pemilik barang dan adanya suatu syarat utama yaitu bahwa antara para pihak harus saling percaya.[5]
c.     Perjanjian Tebasan
Perjanjian tebasan terjadi apabila seseorang menjual hasil tanamannya sesudah tanaman itu berbuah dan sebentar lagi akan dipetik hasilnya. Perjanjian tebasan ini lazim terjadi pada padi atau tanaman buah-buahan yang sudah tua dan sedang berada di sawah ataupun di kebun. Di daerah-daerah tertentu (misalnya beberapa daerah Sumatera Selatan) perjanjian tebasan merupakan perjanjian yang tidak lazim terjadi dan ada kecenderungan bahwa perikatan dalam bentuk ini merupakan perjanjian yang dilarang.[6]
d.    Perjanjian Perburuhan
Bisakah seseorang memperkerjakan orang lain yang bukan keluarga tanpa diberi upah berupa uang? Perihal bekerja sebagai buruh dengan mendapat upah merupakan suatu hal yang sudah lazim dimana-mana. Dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa apabila memperkerjakan orang lain harus diberi upah dan upah tersebut haruslah berupa uang. Tetapi ada variasi lain, yaitu bahwa ada kemungkinan seseorang bekerja tanpa diberi upah berupa uang, akan tetapi segala biaya kehidupannya ditanggung sepenuhnya.
Ter Haar menyatakan bahwa tentang menumpang di rumah orang lain dan mendapat makan dengan Cuma-Cuma tapi harus bekerja untuk tuan rumah, merupakan hal yang berulang-ulang dapat diketemukan dan sering bercampur baur dengan memberikan penumpangan kepada sanak saudara yang miskin dengan imbangan tenaga bantuannya di rumah dan di ladang.[7]
e.     Perjanjian Pemeliharaan
Perjanjian pemeliharaan mempunyai kedudukan yang istimewa dalam hukum harta kekayaan adat. Isi perjanjian pemeliharaan ini adalah bahwa pihak yang satu (pemelihara) menanggung nafkah pihak lain (terpelihara) lebih-lebih selama masa tuanya, pula menanggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya. Sedangkan sebagai imbalan si pemelihara mendapat sebagian dari harta peninggalan si terpelihara, dimana kadang-kadang bagian itu sama dengan bagian seorang anak. Perjanjian ini pada umumnya dikenal antara lain di Minahasa dan persamannya terdapat di Bali dimana seseorang menyerahkan dirinya bersama segala harta bendanya kepada orang lain. Orang yang menerima penyerahan sedemikian itu wajib menyelenggarakan pemakamannya dan pembakaran mayatnya si penyerah, pula wajib memelihara sanak saudaranya yang ditinggalkan; untuk itu semua maka ia berhak atas harta peninggalannya.[8]
f.      Perjanjian Pertanggungan Kerabat
Apakah lazim seseorang menanggung hutang orang lain yang tidak sanggup melunasi hutang tersebut?
Ter Haar pernah menulis bahwa dalam hukum adat terdapat perjanjian dimana seseorang menjadi penanggung hutangnya orang lain. Si penanggung dapat ditagih bila dianggap bahwa perlunasan piutang tak mungkin lagi diperoleh dari si peminjam sendiri. Menanggung hutang orang lain, pertama-tama mungkin disebabkan karena adanya ikatan sekerabat, berhadapan dengan orang luar. Kedua mungkin juga berdasarkan atas rasa kesatuan daripada sanak saudara. Misalnya dikalangan orang-orang Batak Karo, seorang laki-laki selalu bertindak bersama-sama atau dengan penanggunagan anak beru sinina, yaitu sanak saudaranya semenda dan kerabatnya sedarah yang seakan-akan mewakili golongan-golongan mereka berdua yang bertanggung jawab.
Penelitian di beberapa masyarakat menyatakan kebenaran dari pemikiran yang diajukan oleh ter Haar di atas. Di Sumatera Selatan perjanjian pertanggungan kerabat orang lain juga masih lazim dilakukan. Alasan-alasannya antara lain :
1)      Menyangkut kehormatan suku.
2)      Menyangkut kehormatan keluarga batih.
3)      Menyangkut kehormatan [9]
g.     Perjanjian Bagi Hasil
Perjanjian bagi hasil adalah apabila pemilik tanah memberi ijin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian, bahwa yang mendapat ijin itu harus memberikan sebagian hasil tanahnya. Ada yang dibagi menjadi dua di Jawa : maro, Minangkabau : memperduai, Periangan : nengah, Sumatera : Perdua, Sulawesi Selatan : Tesang, Minahasa: Toyo. Jika hasilnya dibagi menjadi tiga maka disebut pertiga, di Jawa : mertelu, Periangan : Jejuron.[10]
Dengan demikian, maka ketentuan-ketentuannya adalah sebagai berikut :
1)      Pemilik tanah dan penggarapnya memperoleh bagian yang sama (maro).
2)      Pemilik tanah memperoleh 2/3 bagian (mertelu).[11]
Di Jawa dalam suatu perjanjian bagi hasil berlaku ada kebiasaan dalam adat, bahwa permulaan transaksi dibayar srama atau mesi. Srama adalah pemberian uang sekedarnya oleh penggarap kepada si pemilik tanah, sedangkan mesi adalah pemberian dari penggarap yang berarti tanda pengakuan terhadap pemilik tanah.[12]
Mengenai perjanjian bagi hasil atau “sharecropping” ini, sebetulnya telah diatur di dalam UU No. 2 tahun 1960, : bahwa perjanjian bagi hasil (pasal 3) dikatakan bahwa perjanjian bagi hasil harus dibuat secara tertulis di hadapan kepala desa dan disahkan oleh camat, dan menurut pasal 4 perjanjian bagi hasil untuk sawah berlaku sekurang-kurangnya 3 tahun dan tanah kering sekurang-kurangnya 5 tahun. Kemudian pasal 8 menyatakan dinyatakan adanya pembayaran uang atau pemberian benda apapun kepada pemilik tanah untuk memperoleh hak mengusahakan tanah.[13]
h.     Perjanjian Ternak
Ter Haar menyatakan “ Pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada pihak lain untuk dipelihara dan membagi hasil ternak atau peningkatan nilai dari hewan itu” Di Sumatera Barat (Minangkabau) dikenal dengan nama “paduon taranak” atau “saduoan taranak”. Mengenai hal ini, lazimnya berlaku ketentuan – ketentuan sebagai berikut :
1)   Jika ternak itu ternak betina, maka setelah beranak, anaknya itu dibagi sama banyaknya antara si pemilik dan si pemelihara, atau dipatut harga induknya, kemudian anaknya dibagi dua sama banyak, dan kelebihan harga induknya yang dipatut itu dibagi dua pula. Kelebihan harga induk adalah dari harga waktu penyerahan dan waktu akan membagi.
2)  Jika ternak itu ternak jantan, maka sewaktu diserahkan pada pemelihara harus ditentukan harganya, kemudian setelah dijual laba dibagi dua.Kalau dijual sebelum beranak maka ketentuannya adalah :
a)         Jika induknya dahulu dipatut harganya, maka laba dibagi dua
b)     Jika induknya dahulu tidak dipatut harganya, maka kepada pemelihara diberikan sekedar uang jasa selama ia memelihara ternak tersebut, besarnya tergantung kepada pemilik ternak, sifatnya hanya sosial saja.
c)    Kalau ternak itu mandul, maka dijual, biasanya dikeluarkan juga uang rumput pemeliharaan, dan pemelihara mempunyai hak terdahulu jika ia ingin membeli atau memeliharanya kembali.[14]
  1. Kesimpulan
Perjanjian merupakan Persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.
Di dalam kebiasaan masyarakat, perjanjian mempunyai varian yang bermacam-macam yang kesemuanya itu merupakan tradisi atau ciri khas suatu daerah tertentu. Semisal adanya perjanjian kredit, perjanjian tebasan dan lain sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA

Bewa Ragawino, S.H., M.SI. Makalah Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Pustaka
Hadikusuma, Prof. H. Hilman, SH. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat. Bandung : Mandar Maju
Sudarsono. 2007. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta





[1]Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta : Balai Pustaka. 2005) Hlm. 458
[2]Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rincka Cipta, 2007) Hlm. 363
[4]Bewa Ragawino, S.H., M.SI., Makalah Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia.( Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran) Hlm. 104
[5]Ibid
[6]Ibid…. Hlm. 105
[7] Ibid…. Hlm. 106
[8]Ibid
[10]Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat, (Bandung : Mandar Maju, 2003) Hlm. 228
[12]Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Pengantar Ilmu Hukum Adat, … Hlm. 228
[14]Bewa Ragawino, S.H., M.SI., Makalah Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia……. Hlm. 112