Banyaknya suatu kebiasaan-kebiasaan yang hadir
maupun berkembang di Suatu Negara maupun daerah, membuat masyarakat bervariasi
dan penuh keunikan tersendiri. Keunikan-keunikan tersebutlah yang membuat suatu
bangsa terlihat mempunyai ciri khas yang berbeda dengan bangsa lain, dalam hal
ini termasuk bangsa Indonesia yang kaya akan beranekaragaman yang tidak
dimiliki oleh negara-negara lainnya.
Kebiasaan inilah yang akan mendarah daging di suatu
daerah tertentu yang kemudian akan menjadikan suatu adat kebudayaan daerah
tersebut. Dari adat inilah keberlakuan hukum dijalankan dengan dipimpin oleh
pemimpin adat atau pemuka adat, tak jarang juga dipimpin oleh seseorang yang
dianggap petua atau pemuka-pemuka lainnya.
Hukum adat inilah yang akan mengatur perilaku
bermasyarakat pada daerah adat tersebut. Semisal jual-beli, waris, perjanjian
dan lain sebagainya. Dalam kesempatan ini pemakalah akan mencoba memaparkan
sedikit banyak hal tentang perjanjian.
B.
Latar Belakang
1. Apakah
yang dimaksud dengan perjanjian?
2. Bagaimanakah
bentuk-bentuk perjanjian adat ?
C.
Pembahasan
1. Pengertian
Perjanjian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian
adalah “Persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak
atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.”[1]
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih”.[2]
Hukum perjanjian pada dasarnya mencakup hutang
piutang. Dengan adanya perjanjian, maka suatu pihak berhak untuk menuntut prestasi dan alih pihak berkewajiban
untuk memenuhi prestasi. Prestasi tersebut adalah mungkin menyerahkan benda,
atau melakukan suatu perbuatan , atau tidak melakukan suatu perbuatan.
2. Bentuk-bentuk
Perjanjian Adat
a. Perjanjian
kredit
Perjanjian kredit
merupakan suatu perjanjian meminjamkan uang dengan atau tanpa bunga, atau
barang-barang tertentu yang harus dikembalikan sesuai dengan nilainya
masing-masing pada saat yang telah disepakati. Hasil penelitian lapangan di
Lampung dan Sumatera Selatan menyatakan bahwa peminjaman yang dikenakan bunga
telah lazim terjadi, apabila yang meminjam uang itu adalah orang luar, artinya
yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan pihak yang meminjamkan uang
itu. Adanya bunga atau jaminan terhadap pinjaman uang, rupa-rupanya merupakan
pengaruh dari kebiasaan-kebiasaan di kota dari para pendatang. [3]
Demikian pula dengan pinjam-meminjam barang, maka pinjam-meminjam
tersebut merupakan suatu hal yang sudah lazim. Pinjam-meminjam barang ini harus
dikembalikan dengan barang sejenis ataupun dengan uang yang sepadan dengan
nilai barang yang dipinjamkan.
b. Perjanjian Kempitan
Perjanjian kempitan merupakan suatu bentuk perjanjian dimana sesorang menitipkan
sejumlah barang kepada pihak lain dengan janji bahwa kelak akan dikembalikan dalam bentuk uang atau
barang yang sejenis. Perjanjian kempitan ini lazim terjadi dan pada umumnya
menyangkut hasil bumi dan barang-barang dagangan.[4]
Di dalam perjanjian
kempitan, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu antara lain :
1) Harus
ada musyawarah lebih dulu, kepercayaan dan surat perjanjian.
2) Diadakan
batas waktu pengembalian barang dan kalau barang tersebut tidak diambil, maka
barang tersebut dijual atas dasar mufakat.
3) Dalam
surat perjanjian itu ditentukan jumlah harga pengembalian barang tersebut.
4) Apabila
barang yang dititipkan itu hilang, maka harus ada penggantian dan apabila
barang itu telah dijual orang yang dititipi barang tersebut harus diberi upah
untuk jerih payahnya.
Dengan
demikian, dalam perjanjian kempitan terdapat kecenderungan bahwa barang yang
dititipkan itu harus dikembalikan apabila dikehendaki oleh pemilik barang dan
adanya suatu syarat utama yaitu bahwa antara para pihak harus saling percaya.[5]
c.
Perjanjian Tebasan
Perjanjian tebasan terjadi apabila seseorang menjual hasil tanamannya
sesudah tanaman itu berbuah dan sebentar lagi akan dipetik hasilnya. Perjanjian tebasan ini lazim
terjadi pada padi atau tanaman buah-buahan yang sudah tua dan sedang berada di
sawah ataupun di kebun. Di daerah-daerah tertentu (misalnya beberapa daerah
Sumatera Selatan) perjanjian tebasan merupakan perjanjian yang tidak lazim
terjadi dan ada kecenderungan bahwa perikatan dalam bentuk ini merupakan
perjanjian yang dilarang.[6]
d.
Perjanjian
Perburuhan
Bisakah seseorang
memperkerjakan orang lain yang bukan keluarga tanpa diberi upah berupa uang?
Perihal bekerja sebagai buruh dengan mendapat upah merupakan suatu hal yang
sudah lazim dimana-mana. Dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa apabila
memperkerjakan orang lain harus diberi upah dan upah tersebut haruslah berupa
uang. Tetapi ada variasi lain, yaitu bahwa ada kemungkinan seseorang bekerja
tanpa diberi upah berupa uang, akan tetapi segala biaya kehidupannya ditanggung
sepenuhnya.
Ter Haar menyatakan bahwa tentang menumpang di rumah
orang lain dan mendapat makan dengan Cuma-Cuma tapi harus bekerja untuk tuan
rumah, merupakan hal yang berulang-ulang dapat diketemukan dan sering bercampur
baur dengan memberikan penumpangan kepada sanak saudara yang miskin dengan
imbangan tenaga bantuannya di rumah dan di ladang.[7]
e.
Perjanjian
Pemeliharaan
Perjanjian
pemeliharaan mempunyai kedudukan yang istimewa dalam hukum harta kekayaan adat.
Isi perjanjian pemeliharaan ini adalah bahwa pihak yang satu (pemelihara)
menanggung nafkah pihak lain (terpelihara) lebih-lebih selama masa tuanya, pula
menanggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya. Sedangkan sebagai
imbalan si pemelihara mendapat sebagian dari harta peninggalan si terpelihara,
dimana kadang-kadang bagian itu sama dengan bagian seorang anak. Perjanjian ini
pada umumnya dikenal antara lain di Minahasa dan persamannya terdapat di Bali
dimana seseorang menyerahkan dirinya bersama segala harta bendanya kepada orang
lain. Orang yang menerima penyerahan sedemikian itu wajib menyelenggarakan
pemakamannya dan pembakaran mayatnya si penyerah, pula wajib memelihara sanak
saudaranya yang ditinggalkan; untuk itu semua maka ia berhak atas harta
peninggalannya.[8]
f. Perjanjian
Pertanggungan Kerabat
Apakah lazim
seseorang menanggung hutang orang lain yang tidak sanggup melunasi hutang
tersebut?
Ter Haar pernah
menulis bahwa dalam hukum adat terdapat perjanjian dimana seseorang menjadi
penanggung hutangnya orang lain. Si penanggung dapat ditagih bila dianggap
bahwa perlunasan piutang tak mungkin lagi diperoleh dari si peminjam sendiri.
Menanggung hutang orang lain, pertama-tama mungkin disebabkan karena adanya
ikatan sekerabat, berhadapan dengan orang luar. Kedua mungkin juga berdasarkan
atas rasa kesatuan daripada sanak saudara. Misalnya dikalangan orang-orang
Batak Karo, seorang laki-laki selalu bertindak bersama-sama atau dengan
penanggunagan anak beru sinina, yaitu sanak saudaranya semenda dan kerabatnya
sedarah yang seakan-akan mewakili golongan-golongan mereka berdua yang
bertanggung jawab.
Penelitian di beberapa masyarakat menyatakan
kebenaran dari pemikiran yang diajukan oleh ter Haar di atas. Di Sumatera
Selatan perjanjian pertanggungan kerabat orang lain juga masih lazim dilakukan.
Alasan-alasannya antara lain :
1) Menyangkut
kehormatan suku.
2) Menyangkut
kehormatan keluarga batih.
g. Perjanjian
Bagi Hasil
Perjanjian bagi hasil adalah apabila pemilik tanah
memberi ijin kepada orang lain untuk mengerjakan tanahnya dengan perjanjian,
bahwa yang mendapat ijin itu harus memberikan sebagian hasil tanahnya. Ada yang
dibagi menjadi dua di Jawa : maro, Minangkabau : memperduai, Periangan :
nengah, Sumatera : Perdua, Sulawesi Selatan : Tesang, Minahasa: Toyo. Jika
hasilnya dibagi menjadi tiga maka disebut pertiga, di Jawa : mertelu, Periangan
: Jejuron.[10]
Dengan demikian, maka ketentuan-ketentuannya adalah
sebagai berikut :
1) Pemilik
tanah dan penggarapnya memperoleh bagian yang sama (maro).
2) Pemilik
tanah memperoleh 2/3 bagian (mertelu).[11]
Di Jawa dalam suatu perjanjian bagi hasil berlaku
ada kebiasaan dalam adat, bahwa permulaan transaksi dibayar srama atau mesi.
Srama adalah pemberian uang sekedarnya oleh penggarap kepada si pemilik tanah,
sedangkan mesi adalah pemberian dari penggarap yang berarti tanda pengakuan
terhadap pemilik tanah.[12]
Mengenai perjanjian bagi hasil atau “sharecropping”
ini, sebetulnya telah diatur di dalam UU No. 2 tahun 1960, : bahwa perjanjian
bagi hasil (pasal 3) dikatakan bahwa perjanjian bagi hasil harus dibuat secara
tertulis di hadapan kepala desa dan disahkan oleh camat, dan menurut pasal 4
perjanjian bagi hasil untuk sawah berlaku sekurang-kurangnya 3 tahun dan tanah
kering sekurang-kurangnya
5 tahun. Kemudian pasal 8 menyatakan dinyatakan adanya pembayaran uang atau
pemberian benda apapun kepada pemilik tanah untuk memperoleh hak mengusahakan
tanah.[13]
h. Perjanjian
Ternak
Ter Haar menyatakan “ Pemilik ternak menyerahkan
ternaknya kepada pihak lain untuk dipelihara dan membagi hasil ternak atau
peningkatan nilai dari hewan itu” Di Sumatera Barat (Minangkabau) dikenal
dengan nama “paduon taranak” atau “saduoan taranak”. Mengenai hal ini, lazimnya
berlaku ketentuan – ketentuan sebagai berikut :
1) Jika
ternak itu ternak betina, maka setelah beranak, anaknya itu dibagi sama
banyaknya antara si pemilik dan si pemelihara, atau dipatut harga induknya,
kemudian anaknya dibagi dua sama banyak, dan kelebihan harga induknya yang
dipatut itu dibagi dua pula. Kelebihan harga induk adalah dari harga waktu
penyerahan dan waktu akan membagi.
2) Jika
ternak itu ternak jantan, maka sewaktu diserahkan pada pemelihara harus
ditentukan harganya, kemudian setelah dijual laba dibagi dua.Kalau dijual
sebelum beranak maka ketentuannya adalah :
a) Jika induknya
dahulu dipatut harganya, maka laba dibagi dua
b) Jika induknya
dahulu tidak dipatut harganya, maka kepada pemelihara diberikan sekedar uang
jasa selama ia memelihara ternak tersebut, besarnya tergantung kepada pemilik
ternak, sifatnya hanya sosial saja.
c) Kalau ternak itu
mandul, maka dijual, biasanya dikeluarkan juga uang rumput pemeliharaan, dan
pemelihara mempunyai hak terdahulu jika ia ingin membeli atau memeliharanya
kembali.[14]
- Kesimpulan
Perjanjian merupakan Persetujuan tertulis atau
dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat
akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.
Di dalam kebiasaan masyarakat, perjanjian mempunyai
varian yang bermacam-macam yang kesemuanya itu merupakan tradisi atau ciri khas
suatu daerah tertentu. Semisal adanya perjanjian kredit, perjanjian tebasan dan
lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Bewa Ragawino, S.H., M.SI. Makalah
Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
Departemen
Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta : Balai Pustaka
Hadikusuma, Prof. H. Hilman, SH. 2003. Pengantar
Ilmu Hukum Adat. Bandung : Mandar Maju
Sudarsono.
2007. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta
[1]Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta : Balai
Pustaka. 2005) Hlm. 458
[3]http://bowolampard8.blogspot.com/2011/12/hukum-perjanjian-adat.html,
diakses Minggu, 20 April 2014
[4]Bewa Ragawino, S.H., M.SI., Makalah
Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia.( Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran) Hlm. 104
[9]http://bowolampard8.blogspot.com/2011/12/hukum-perjanjian-adat.html,
diakses Minggu, 20 April 2014
[10]Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Pengantar
Ilmu Hukum Adat, (Bandung : Mandar Maju, 2003) Hlm. 228
[11]http://bowolampard8.blogspot.com/2011/12/hukum-perjanjian-adat.html,
diakses Minggu, 20 April 2014
[12]Prof. H. Hilman Hadikusuma, SH, Pengantar
Ilmu Hukum Adat, … Hlm. 228
[13]http://bowolampard8.blogspot.com/2011/12/hukum-perjanjian-adat.html,
diakses Minggu, 20 April 2014
[14]Bewa Ragawino, S.H., M.SI., Makalah
Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat Indonesia……. Hlm. 112